Kamis, 25 November 2010
Jika Aku Menjadi Menteri Lingkungan Hidup
“Apakah sesungguhnya ia ingin tahu semuanya? Semua tentang kejadian sesungguhnya.... Ini semua hanya karena kau menyakitiku. Kau yang selama ini memberikanku senyuman. Menutupi semua kesakitan menit-menitku.... Aku hanyalah sehelai rumput kuning, kering.... Bergoyang kaku ketika ia menghembuskan anginnya padaku.... Bertahun-tahun menanti.... Namun hujan tak kunjung menghijaukanku.... Meski sesungguhnya setetes mereka telah memberiku, sayang aku tetaplah rumput....
Wahai belalang, apalah yang bisa aku berikan kepadamu, lihatlah yang kupunya hanya sehelai daun kering...itupun hidupku. Andai kau ingin memakannya, makanlah.... Meski itulah saat terakhir aku melihatmu di dunia ini. Dunia yang kian mengering oleh tangan tak bertanggungjawab.”
"Selamat pagi, Pak. Ini dengan Ina di Tunjung Biru, saya minta tolong, kali yang cukup besar di dekat rumah saya penuh dengan sampah," suaraku yang lembut menyapa operator Dinas Kebersihan Perkotaan di pagi yang lembab oleh hujan.
"Tunggu sebentar ya, dik. Saya sambungkan ke bagian Pekerjaan Umum, nanti bisa langsung berbicara dengan pihak PU," sahutnya.
"Terimakasih, Pak," timpalku.
"Halo, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Selamat pagi, Bu. Saya salah satu warga di Tunjung Biru, saya ingin meminta bantuan pekerja PU untuk membersihkan sungai yang ada di seputaran...”
“Tunggu sebentar ya, Dik. Saya panggilkan pimpinan pekerjanya,” potong operator itu.
Kupandangi putaran detik jam dindingku, seolah dia berkata, “Berapa kali kau telah menghubungi para pekerja itu untuk memohon bantuan, tidakkah kau merasa iba dengan perjuangan mereka?”
“Tentu saja aku iba.”
“Bagaimana, Dik. Ada yang bisa saya bantu?” sahutya dengan lembut dari seberang sana.
Sejenak ‘ku tertegun mendengar nada suaranya yang penuh dengan semangat pelayanan yang ‘tak kenal lelah.
“Halo?” dia memastikan, bahwa masih ada nafas diseberang sini.
“Iya, Pak. Selamat pagi, perkenalkan nama saya Ina, saya yang biasanya menghubungi PU ketika air kali di dekat rumah saya meluap. Pagi ini saya meminta bantuan bapak-bapak pekerja PU sehubungan dengan hal ini. Maaf merepotkan, Pak,” dengan lembut kulantunkan permintaanku.
“Iya, Dik. Saya cek terlebih dahulu petugas disini, di daerah mana itu tempatnya? Juga sertakan nomer telepon adik,” timpalnya.
Oh, Tuhan.... Berkatilah orang-orang seperti mereka ini, ‘tak kuasa aku menahan butiran air mataku yang telah menari lembut, memaksa mengalir tetes demi tetes. Sensitif, itulah aku. Satu hal yang dapat aku pelajari dari sisi melankolisku ini adalah saat aku terenyuh, mata batin terbuka, merasakan apa yang aku rasa yang aku pikir itu adalah hal yang patut untuk dirangkul, terutama mereka yang terlihat jauh kurang beruntung oleh si kedua bola mata. Namun, sesungguhnya mereka jauh lebih beruntung dibandingkan mereka yang tidur beralaskan kasur yang terbuat dari karet, yang konon sangat nyaman dan empuk, berbantal bulu angsa, dan berselimutkan bulu domba berkulit tebal dan halus. Karena dibalik semua pengorbanan dan pembelajaran akan ‘kekurangberuntungannya’ itu, suatu saat nanti mereka akan lebih siap menerima apapun yang dipersembahkan Tuhan kepada mereka.
“Terimakasih, Pak,” kata itu mengalun setelah kusampaikan detil dimana tempat daerahku tinggal berada.
***
Aku berdiri disini, di pinggiran kali yang telah menyerupai daratan basah. Air yang seharusnya menjadi penghuni utama kali itu telah mengalir, memenuhi petak-petak persawahan yang ada disampingnya. Sungguh malang nasib petani penanam benih padi yang baru saja ditanam seminggu sebelum hari ini, sawahnya tebenam dengan air kali ini.
Sembari kumenanti kedatangan para petugas, aku pandangi keseluruhan isi kali itu.
"Ah, plastik. Sang air sebagai penghuni utama mungkin telah menobatkannya sebagai kerabat terdekatnya saat ini," gerutuku.
Bagaimana bisa mereka melakukan perbuatan ini, seperti 'tak ada cara lain untuk mengatasi kasur yang sudah lapuk buat mereka, terlalu.
"Cekriiiiit...," suara kamera kantong milik paman yang sengaja aku pinjam untuk mengabadikan hasil dari pola perilaku anak manusia yang mungkin sudah 'tak lagi memiliki akal sehat.
Mataku masih mencari-cari 'mangsa', apa yang sekiranya 'unik' untuk ditangkap meski 'tak sedap dipandang mata.
Astaga, bangkai babi yang ‘tak bernyawa pun mereka buang di tempat ini. Aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran mereka.
“Mungkin memang sudah harus menjadi nasibmu, oh babi, diperlakukan seperti ini oleh pemilikmu, habis manis sepah dibuang. Semoga suatu saat nanti kau diberikan kesempatan untuk menjadi makhluk seperti kami, dan memperbaiki semua hidupmu,” kulantunkan doa perpisahan untuknya.
"Hidupmu indah, bila kau tahu, jalan mana yang benar...," nada ini samar-samar keluar dari kantong celanaku.
"Na, kamu masih di depan Tunjung Biru? Apa pertugas kebersihannya sudah datang? Airnya sudah semakin tinggi, dari yang hanya membanjiri halaman kita, mengalir sampai ke ruang tamu," bunyi pesan singkat yang baru saja kubaca.
Terkadang aku berpikir disinilah letak ketidakadilan Sang Pencipta.
“Mereka yang melakukan perbuatan ini, mengapa harus kami yang menjunjung tinggi nilai persahabatan dengan alam yang mengalami hasil dari buah perbuatan mereka,” pikiran liarku memenuhi kepalaku.
Oh, maafkan hamba, Tuhan. Beberapa detik yang telah lalu, aku tidak dapat mengendalikan pikiran liarku. Aku kembali menetralisir pikiranku dengan mengambil sisi positif, apa yang terjadi sehubungan dengan hal ini.
Meski sekarang aku begitu menyayangi alam, menyerukan kecintaan untuk alam kepada siapa saja, mungkin yang terjadi kali ini adalah buah hasil perbuatan di masa laluku, mungkin saat lalu aku ‘tak memiliki hati nurani kepada sang alam.
***
“Selamat pagi, Bu. Saya Ina yang sekitar dua jam yang lalu menghubungi kantor Pekerjaan Umum, ingin sedikit bertanya, apakah sudah ada petugas yang akan turun untuk membantu kami membersihkan kali besar di Jalan Tunjung Biru?” kuhabiskan lagi kredit pulsaku untuk memastikannya.
“Maaf, Dik. Mungkin saja masih dalam perjalanan, mohon ditunggu sebentar, karena petugas kami tidak hanya bekerja untuk membersihkan kali yang ada di dekat rumah adik Ina saja. Ini di dekat rumah adik sering sekali rasanya kalinya sampai kepenuhan dengan sampah-sampah yang ‘tak sewajarnya di buang disana, bagaimana itu masyarakat disana tidak bisa beretika, moralnya sangat tidak bagus sekali,” keluh operator yang rupanya kali ini adalah seorang bapak.
“Iya, Pak. Maaf sekali saya yang selalu menelepon dan selalu merepotkan bapak-bapak pekerja umum,” nadaku lirih.
“Coba sekali-sekali dibiarkan begitu, Dik. Biar tahu rasa mereka. Terkadang kami juga lelah menghadapinya. Siapa disana ketua lingkungannya?” nadanya ketus.
“Saya juga inginnya memberi ganjaran yang setimpal, Pak. Agar mereka yang membuang sampah disanalah yang menanggung akibat dari perbuatan mereka yang ‘tak bermoral. Tapi apa boleh dibuat, Pak, Tuhan berkata lain. Air itu selalu mengalir ke rumah saya dan sanak saudara yang kebetulan bertetangga dengan saya. Padahal kami sama sekali tidak pernah membuang sampah ke tempat itu, sekalipun hanya dedaunan kering. Menyayangi alam selalu menjadi moral utama yang ditanamkan keluarga bahkan sesepuh kami kepada anak cucunya,” mungkin ini adalah curahan hatiku kepada bapak itu.
“Baiklah, terimakasih ya, Dik. Sesungguhnya, saya sebagai kepala bagian disini, merasa sangat senang sekali apabila masyarakat Denpasar khususnya masih ada yang peduli dan mau menghubungi PU. Nanti, jangan bosan-bosan untuk menelepon ya, kami akan layani,” sahutnya.
Kurasakan air mataku menetes lembut di pipiku. Ahh, sisi sensitifku selalu saja berperan aktif, aku terharu.
Terimakasih Tuhan telah menciptakan orang-orang terbaik untuk bumiMu tercinta ini. Mereka yang rela melakukan hal-hal yang sangat belum tentu orang lain mau melakukannya, dengan upah yang tak sebanding. Mereka turun ke ruang yang sesak penuh dengan kumpulan barang-barang bekas yang tak bertuan. Sedikit demi sedikit seisi kali itu dikeluarkan, dikumpulkan dengan truk hijau besar yang selalu menemani para petugas itu saat bekerja dengan penuh ikhlas. Sesekali mereka menyelam ke dasar kali, memasuki daerah bawah jembatan untuk memastikan apakah ada yang tertinggal untuk mereka angkut ke atas.
“Dapatkah kau bayangkan itu, kawan?” tanyaku dalam hati.
Hatiku terasa perih, namun aku tak ingin mengeluarkan tangisku di hadapan mereka, kutemani mereka yang bekerja sambil tersenyum dan bernyanyi-nyanyi kecil. Kali ini imbalan yang bisa aku berikan kepada mereka adalah senyum termanis dan doa tulusku untuk mereka. Kukirimkan pesan kepada Yang Kuasa, aku ingin mereka selalu hidup sehat, sejahtera, dan berkecukupan.
“Terimakasih bapak-bapak semuanya,” pamitku serta jabat tangan yang hangat dengan mereka.
Pembelajaran yang aku dapatkan dari hal ini adalah semua pekerjaan yang dilakoni setiap manusia di dalam kehidupan ini sangatlah berguna. Tidaklah perlu kita memandang dengan sebelah mata bagaimana mereka melakukannya. Mungkin mereka yang lain memandang pekerjaan ini adalah pekerjaan yang ‘tak bermartabat. Tetapi, di mata Tuhan, justru merekalah yang dibesarkan untuk menjadi bermartabat. Rangkulah siapa saja, siapa saja....
***
Kuberjalan pelan menuju rumah, dan sesampainya aku dirumah, kudapati rumahku serta dua rumah lainnya tergenang air. Tapi bisa dikatakan, di tempatku berteduhlah yang paling menampung banyak air, terlihat seperti rakit beratap yang sedang mengapung.
Ini bukan kali pertama aku mengalami hal ini. Sejak tahun lalu, ini sudah terjadi selama empat kali dalam dua tahun ini.
“Bu, petugasnya sudah datang. Tapi sedikit agak terlambat ya, Bu. Rumah kita sudah tergenang mendahului kedatangan mereka,” kata sambutanku kepada ibuku.
“Tidak apa-apa, ini belum separah lumpur lapindo,” sahut ibuku.
Ibuku adalah sosok selalu mengajarkan aku untuk berpikir positif di dalam menghadapi suatu tantangan seperti ini.
Ya, tantangan. Kami lebih senang menyebutnya tantangan. Mungkin bagi mereka yang lain, lebih sering menyebutnya sebagai masalah. Tetapi, kami selalu mengendalikan ucapan kami, pikiran kami untuk meletakkan kata tantangan dalam hal ini, karena dengan sendirinya kata itu sangat memberikan dampak positif pada setiap tingkah laku kami. Dibandingkan kami terus-terusan mengeluh. Ahh, senang sekali bisa hidup damai seperti ini....
***
Satu atau dua hari, air ini akan surut dengan sendirinya. Syukurnya, di belakang rumah kami ada satu rumah saudara kami yang kami bisa singgahi dan siap menerima kami, di saat-saat seperti ini.
Kupersilahkan ibuku menikmati hari ini di rumah saudaraku, sedangkan aku dengan senang hati ‘berjibaku’ membersihkan rumah terindah persembahan Tuhan Yang Maha Penyayang.
Aku petik buah keikhlasan ini sebagai kebahagiaan yang bisa aku rasakan, mungkin tidak semua orang bisa menghadapi hal ini dengan cara begini.
“Terimakasih, Tuhan,” senyumku kepada langit.
Akan aku lakukan hal yang sekecil-kecilnya yang bermanfaat untuk Ibu Pertiwi, karena di tempat yang penuh berkah ini aku bisa menjalani hari-hariku. Inilah universitas yang sesungguhnya yang harus aku lalui dengan sebaik-baiknya dengan penuh senyum, tawa, dan bahagia, Universitas Kehidupan.
Suatu saat nanti, jikalau Tuhan berkenan dan memantaskanku untuk menjadi pribadi yang dibesarkan olehNya dengan segala suka dukaNya, aku ingin menjadi sosok Menteri Lingkungan Hidup bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kucintai ini. Aku ingin memberi kesempatan bagi mereka yang bekerja tulus untuk bumi tercinta, yang selama ini yang melakoninya adalah kebanyakan dari mereka yang berasal dari ekonomi kelas bawah, untuk memperoleh penghormatan yang sejajar dengan mereka yang duduk di kursi mewah kepemerintahan negeri ini.
Aku ingin Bangsa Indonesia mencintai dengan tulus negerinya, dimulai dengan mencintai lingkungannya. Tidak perlu untuk saling mencaci dan merusak satu sama lain, tetapi alangkah baiknya berbenah diri dari hal-hal yang memang sangat kita butuhkan dan junjung tinggi, alam Sang Ibu Pertiwi.
Label:
cita-cita,
hijau,
lingkungan,
menteri,
pengorbanan,
semangat
8 comments:
ikut lomba nulis ???. kereen. ini dalam bentuk surat, saya suka bacanya.
sila ke 'rumah' saya;http://idrusbinharun.blogspot.com/2011/01/berbagi-kesadaran-di-bawah-pohon.html
ahaha...
sippp...
keren gaya menulisnya, serasa membaca novel/cerpen.
rasa nya kena.
semangat untuk terus berkarya!
^^'
ehmm keren mbak,,, salam kenal..
mampu menuliskan diluar kotak...
seru..
maen2 dan comment ke blog saya yaah..
maklum masih newbie...
http://novasagita.wordpress.com
@mas idroes: wah terimakasih sekali telah berkunjung , suka dengan tulisan ini, juga kecintaannya pada lingkungan yaa :D
salam kenal ya, saya rina..:)
kalau sempat di follow ya... untuk menjalin kekerabatan..:)
@taufik: terimakasih :)
semoga bermanfaat dan bisa langsung take action for our planet yapp:)
salam
@novasagita:
sama-sama nova,,,terimakasih ya..
saya juga newbieee di blog heee,,baru terealisasi punya blog:P
follow yaa..:)
mencintai harmoni alam, seperti mencitai pasangan kita. salam kenal dari pinggiran kota banda aceh.
http://dawatmerah.blogspot.com/
http://dawatmerah.blogspot.com/2011/08/sebatang-rokok-lagi-aceh-akan-merdeka.html
Posting Komentar