Sabtu, 31 Juli 2010
Guratan Garis Tangan di Atas Kerasnya Kehidupan
“Benang-benang sinar menguntai dari lubang kecil dinding bilik bambuku, kicauan burung camar menyelinap lembut masuk ke dalam tirai-tirai mimpi, menalu genderang kekacauan istana mewah di ujung jalan setapak yang kuingat pernah kupijak dalam bayang-bayang kelabu, itu istana dambaan, jawaban dari setiap tanya oleh budak-budak yang terusir dari kerajaan midas, istana yang ia janjikan tuk aku miliki.”
Perlahan mata yang tertitip padaku sejak empat belas tahun yang lalu, menatap kabur mayapada. Aku terduduk dalam tatapanku menyapu bilikku itu, ranjang empuk ternyata hanya sebuah damper bambuku yang reot. Sesuatu yang halus menelan telapak kakiku, itu pasir putih yang kupinjam dari hantu-hantu pesisir, kujadikan lantai sebuah rumah. Ya…mungkin lebih pantas dikatakan gubuk. Atap ilalang di atasku, mengapa begitu lama ia menepati janjinya tuk berubah jadi yang lebih baik, agar aku tahu saat itu garis-garis tanganku telah berubah, gurat-gurat nasib yang memaksaku mencintai ketiadaan daripada mengumbar ketiadaan untuk mencari kesenangan….
Sejenak aku masih ragu, kuusap-usap mataku ini. Oh, ternyata memang benar istana itu hanya sebuah kerinduanku akan sebuah kebahagiaan semu yang terwujud dalam bayang-bayang sesat mimpi. Entah darimana aku mulai mengakui, kesenangan itu yang mereka miliki tidak akan ada padaku karena aku tidak berbuat untuk kesenangan, lagipula keinginan akan alam kesenangan padaku itu hanya selembar nafsu. Biar sudah aku begini adanya.
Aku beranjak, diam di depan lubang di dinding bambu gubukku, entah itu yang mereka sebut sebagai sebuah pintu. Laut hari tenang, membelai lembut sisi daratan. Matahari memberi kehangatan menelan kegelapan dingin yang menyelimutiku. Kidung riang pasangan burung gereja, seolah-olah ingin menunjukkan kebahagiaan mereka padaku. Kadang aku merasa iri. Pernahkah mereka merasakan kepedihan seperti aku ini?
Angin bertiup lembut, daun kelapa pun melambai. Keindahan ini seolah-olah terbit mengusir misteri malam dan rintihan-rintihan binatangnya. Mungkin ia memaklumi masa-masa ketika jiwa masih merasuki tubuh ini. Penderitaanku ini suatu saat nanti akan bergulir. Berganti kebahagiaan seperti siang dan malam, meski itu terjadi saat akhir hidup si pendosa ini. Aku mungkin hanya berbuat semampuku menunggu dan berharap roda itu berputar, mengganti air mata kebahagiaan yang tak akan pernah berakhir, walau entah sampai kapan kafilah ini kehausan di tengah padang pasir.
***
Suasana pantai hari ini mengingatkanku pada cerita itu, cerita yang kerap kali ia berikan kepadaku, ketika sepasang sahabat duduk berdua untuk sekedar bercerita rentang kesehariannya. Ia menjadi sahabat dalam suka dan duka, meski hanya sementara. Namun, kisah itu cukup menjadi bekal buatku untuk mengarungi samudera ini, yang penuh gelombang dan badai. Ia memang tak seberuntung diriku, tapi sifatnya, sikapnya, jauh lebih baik dibandingkan aku. Entah ia sengaja, yang kutahu ia telah banyak merubahku. Sayangnya, kini semua itu hanya mampu dikenang dan dimaknai. Sebab, garis-garis tangannya telah merebut sahabatku dari sampingku. Kenangan ini telah menjadi catatan dalam lembar-lembar buku hatiku, menjadi penyejuk ditengah kegundahanku. Akan selalu kukenang hingga akhir nafasku.
Braaakkk... Siang itu ibu membanting kamarnya.
”Bu, buka pintunya”.
Aku mencoba membujuknya, tapi ia tidak menjawab panggilanku. Tak lama kemudian ibuku keluar dari kamarnya, matanya bengkak memerah, di kedua tangannya menggantung sebuah buntelan dan sebuah koper kulit tua peninggalan kakek. Sembari menangis, ibu berlari keluar rumah.
”Ibu, ibu mau kemana? Jangan pergi, Bu.” Kurasa itu yang seharusnya ku ucap, namun pita suaraku mendadak kelu. Akupun hanya terdiam menyaksikan bayang-bayang langkah kaki ibu lenyap dalam bayang sinar mentari.
Akhir-akhir ini ayah dan ibuku memang sering bertengkar, entah apa penyebabnya. Bahkan pernah sebelumnya aku dengar mereka bertengkar dan terlintas kata akan berpisah, hatiku melilit. Kekerasan dalam rumah tangga kah ini? Apa salahku hingga derita ini aku terima?...aku merasa hidup dalam kekerasan, apapun itu.
Jangkrik-jangkrik mulai bersenandung, tanda malam sudah larut. Namun, ibuku tak kunjung pulang. Kenapa tidak kucegah ibuku pergi? Ini salah ayahku, aku benci ayahku!
Di luar jendela hujan mulai turun, deras...dan semakin deras. Kilat-kilat menyambar. Aku khawatir.... Ibu dimana sekarang? Apa ibu baik-baik saja? Kapan ibu akan pulang?
Malam ini terlalu dingin, tubuhku, juga hatiku. Kenapa harus kami yang mengalami ini.... Oh Tuhan..., sungguh berat cobaan ini aku terima.
Tirai-tirai jendela mengayun lemah, tertiup angin yang masuk dari sela-sela jendela kamarku. Dinding berwarna putih, membuat kamarku seolah-olah lebih tenang, walau lampu-lampu kamarku padam. Di dinding sebelah kamarku, tertempel selembar poster seorang pembalap mengendarai motor biru besar dengan angka 46 berwarna kuning menyala tertulis di depannya. Aku tersentak kaget, dari meja di samping tempatku tidur, sebuah cahaya putih tiba-tiba muncul. Oh, itu HP-ku. Ada sebuah pesan singkat dikirim untukku dari bibiku yang di Aceh.
”Ibumu disini, dia baik-baik saja. Ada apa sebenarnya?”
Hatiku yang sesak kini bisa sedikit bernafas lega, kujawab pesan bibiku itu, ”Tidak ada apa-apa, Bi. Cuma salah paham. Titip ibu disana ya, Bi. Terimakasih, salam buat keluarga”.
Ibu sudah sampai di Aceh, mungkin ia naik pesawat terbang kesana.
”Baik-baik disana ya, Bu,” andai saja ibu mendengar ucapanku.
Alarm handphone yang sudah ku-¬set agar berbunyi setiap hari pada waktu yang sama berbunyi. Aku terbangun, ”Arrrggh, sudah pukul 7. Hari ini ada pembagian rapor. Aku terlambat!” teriakku. Rupanya aku lupa men-setnya lebih awal, karena biasanya ibuku yang membangunkanku.
”Mbokkkk! Mana seragamku?” panggilku agak kasar pada mbok Ajeng, pembantu rumahku.
”Ini, Surya,” katanya dengan lembut sambil menyerahkan seragam sekolahku. Mbok Ajeng selalu berbicara halus kepadaku, meski sering kali ia kumarahi karena hal-hal yang sepele, seolah-olah ia ingin berucap, ”Sabar...”. Mungkin hanya perasaanku, karena kurasa aku selalu sabar dan bijaksana dengan hidupku.
Ditanganku aku menggenggam kertas-kertas yang terjilid menjadi satu, sebuah halaman membuatku berkaca-kaca, aku naik kelas 3 SMA, sebuah baris menambahkan, ”Ke-4 dari 45 siswa...,” namun bukan itu yang membanggakanku. Melainkan, dengan ini pelayaranku menjemput ibunda kembali lagi ke ruangan yang penuh kasih keluarga kecil milik kami.
***
Dekapan hangat menyambut aku dan pamanku yang tinggal di Bali, setibanya kami di Aceh, tepatnya di rumah bibiku itu, tempat ibuku lari dari kata-kata yang mengikis hati. Ayah dan ibuku memang masih bertengkar, itulah mengapa pamanku yang menemaniku. Seharian itu aku menyaksikan hari di bawah teduhnya sinar kasih sayang dari mata seorang ibu.
Di sini semua berawal ketika aku diajak adik sepupuku pergi ke sebuah pantai. Memang Tuhan Mahakarya, pantai ini sangatlah mengugah hatiku.
”Adi, mandi yuuk?! Rupanya air laut ini telah menggodaku!” seruku kepada adik sepupuku.
”Tapi kak, kata ibu kita tidak boleh mandi,” jawabnya.
”Sudahlah, ibu takkan tahu,” rayuku.
Adik sepupuku itu memang penurut, sayangnya ia juga mudah dirayu.
Aku terlalu asyik mandi, sedangkan Adi duduk kelelahan di atas pasir sambil cemas mengamatiku. Tampaknya ia masih takut dimarahi ibunya.
Tiba-tiba...
”Apa ini?!” seruku dari kejauhan. Aku terseret arus, terlalu jauh aku berenang.
”Tidddaakk...ini tak boleh terjadi,” aku berusaha melawan, tapi tak kuasa.
”Toloooonnngg...”.
Tampaknya adikku mendengar teriakanku, aku sempat melihatnya panik di pinggir pantai...lama berkutat melawan arus, aku tak sanggup lagi. Pengelihatanku kabur. Sudah banyak air laut yang kuminum. Aku kira aku akan berakhir....
Namun, entah dari mana seseorang menarikku ke atas.
Kemudian semuanya gelap....
Aku terbangun, kepalaku pusing. Di depanku semuanya berkumpul. Ibuku memukulku lembut, ”Syukurlah, Nak”. Hening, hanya terdengar isak tangis ibuku.
Terakhir aku ingat, seorang anak laki–laki sebaya denganku, dengan sampan kecilnya ia menolongku. Teringat jelas sebuah goresan, kurang lebih sepuluh sentimeter di punggung tangan kirinya.
Seminggu kemudian aku kembali ke pantai itu. Maksud hati ingin bertemu dengan pahlawan yang menarikku dari mulut sumur neraka. Walau ibu melarangku.
Lama aku mencarinya, ia seperti sehelai daun di tengah pepohonan yang rimbun. Aku hampir putus asa.
”Kurasa tak ada salahnya aku beristirahat di bawah pohon itu,” aku menyarankan diriku sendiri.
Udaranya sejuk, rasa lelahku setelah berjalan menyusuri pantai mengundangku ke alam tidurku.
Langit memerah, udara dingin memaksa burung-burung berkelompok terbang kembali ke sarangnya.
”Astaga, aku ketiduran. Sudah sore, aku harus pulang”.
Aku beranjak, namun sesuatu menghalangi langkah kakiku. Sebuah gubuk beratap jerami. ”Oh, itu dia,” aku menemukannya, anak laki-laki berkulit cokelat kehitaman berdiri di depan gubuk itu sambil sekadar membersihkan sampan kecilnya. Bekas luka di tangan kirinya membuat aku yakin dia yang aku cari. Perlahan aku menghampirinya, berharap bisa berkenalan dengannya.
”Hai,” sapaku. ”Kamu yang menolongku seminggu yang lalu kan?”
Ia menoleh, tatapan matanya tenang tapi asing, tak pernah kulihat sebelumnya. Rambutnya lurus, pendek, dan berwarna kemerahan. Alis kanannya sedikit terangkat, mungkin ia sedikit terkejut dengan kedatanganku.
Ia tersenyum kemudian bicara ”Mungkin saja kau benar, namun aku hanya menarikmu ke atas sampanku lalu membawamu kepada adikmu di pesisir. Dia, adikmu itulah yang menolongmu karena dia yang membawamu pada keluargamu,” nada bicaranya lembut. Aku menimpali, ”Apapun itu, aku ingin berterimaksih padamu. Bolehkah aku berkenalan denganmu atau sekedar tahu namamu?”
Sembari tersenyum kecil, ia menjawab, ”Mungkin aku tak bernama, namun orang yang sering berjumpa denganku memanggilku ’Si hitam’. Kau tak perlu meminta ijin untuk berteman denganku, siapapun yang datang ke pantai ini kuanggap sebagai teman. Tak terkecuali padamu”.
Kemudian ia melanjutkan, ”Ini sudah hampir malam, apa kau tak takut ibumu menghawatirkanmu?”
”Kau benar, kalau begitu aku pamit dulu. Boleh kan aku kapan-kapan mampir lagi ke sini?” rasa penasaranku masih membara untuk berkenalan dengannya.
”Boleh saja,” ia menjawab dengan santai.
Senja itu aku pulang ke rumah bibiku, berbekal pangalaman yang unik di kepalaku tentang aku dan ”Siapa dia?” serta senandung kecil , aku merasa senang hari ini.
Hari-hari berikutnya aku sering bertemu dengannya di gubuk kecilnya itu. Kami mulai akrab, karena kebetulan kami mudah menerima satu sama lain. Aku sering membantunya membersihkan sampan kecil yang ia gunakan saat menolongku. Sempat juga dia mengajakku menaikinya, tentunya tidak dalam situasi dulu itu lagi. Aku sering bertukar pikiran dengannya.
Suatu waktu dia pernah bercerita kepadaku tentang hidupnya. Ia yang seperti aku lihat, seorang nelayan kecil yang mengarungi dan menaklukkan lautan hidup yang luas dan penuh kekerasan. Ia tak punya apa-apa, sungguh kekurangan, mungkin orang-orang hina itu lebih sering memanggilnya ’miskin’. Sudah lama ia ditinggal orang tuanya. Kini ia hanya sendiri, di gubuk tuanya itu, merajut kisah-kisahnya, agar nanti tetap terkenang walau hanya tuk dirinya sendiri....
Sehari-hari ia hanya makan ikan, itupun andai ada ikan yang memakan umpan di kailnya. Ia tidur di atas dampar bambu yang keras, setiap malam udara dingin pantai itu yang menjadi selimut terhangatnya dari duri-duri es yang menyelimuti kerinduan akan sebuah kasih sayang mereka yang telah berpulang selamanya, mereka yang karena takdir-Nya meninggalkan ia seperti burung kecil. Entah kemana ia akan mengepakkan sayap kecilnya, meski ia pun ragu apakah sayap kecilnya itu mampu membuatnya terbang tinggi, layaknya seperti sang garuda dari utara.
Dengan sebuah senyum ia berkata kepadaku, ”Apapun itu, Sahabatku...sesuatu yang kau sebut derita, apalah artinya dalam hidupku. Karena itu yang kau miliki sesungguhnya lebih banyak memberikan kesenangan, daripada aku ini. Namun, apapun pula kau dan mereka sebut untukku, inilah aku dan kehidupanku. Hidup yang terasa berat dan keras, namun aku ingin tersenyum melewatinya. Kurasa kau tahu, Sahabatku...lebih baik mati di medan perang daripada bersembunyi seperti kelelawar yang takut membuka matanya pada siang hari. Ayolah bangkit, kemenangan untukmu telah ada di depan matamu. Jangan kau mundur menuju ketenangan atau dengan alasan keselamatan. Bukankah kau ingin menunjukan kepada mereka, bahwa kau bukanlah sesuatu yang kalah...”.
Air mataku menjadi saksi ketika aku teringat pada kata-katanya malam itu. Aku menyadari kesakitanku selama ini hanya karena aku mengumbar kesenangan untuk mencari sebuah perasaan menderita.
Lihatlah ia, ia bagaikan mercusuar yang kokoh, yang memberi sebuah petunjuk bagi mereka pelaut dalam sesat badai. Begitu pula ia padaku, aku yang merasa orang yang sabar, sesungguhnya hanya orang cengeng yang tak berguna. Seharusnya ia lebih membutuhkan pertolongan, namun justru ialah yang menolongku....
”Siapakah sesungguhnya yang nista?”
Itulah aku....
Aku malu....
Suara-suara jangkrik bersenandung pilu. Apakah yang sedang ia lakukan? Apakah yang sedang ia rasakan? Kudoakan engkau sahabatku, agar engkau hangat di sana dalam lelapmu.
***
Deru mesin-mesin pesawat mengiringi kepulanganku dan pamanku dari negeri Serambi Mekah, menjemput ibundaku yang terluka.
Hatiku gundah, bertanya dalam hati, ”Apakah nanti ayahku dan ibuku rujuk kembali?”
Namun, kurasa sesungguhnya rasa ini bukan sepenuhnya kegundahan, karena hal itu menghantui burung baja pengantarku, melainkan sebuah kematian dari hati yang lahir di lubang akhirat, berjalan menapak pada lereng-lereng kebahagiaan.
Aku teringat saat berpamitan padanya....
”Teman, hari ini aku akan pulang ke Bali, tentunya bersama ibuku”. Ia menatapku, matanya yang tenang saat itu berubah agak ketakutan, bibirnya berkerut, sosoknya yang gagah berani seolah-olah takut dihadapan seekor gagak.
Aku bertanya dengan hati-hati, ”Apakah benar kini kamu menjadi sahabatku?”
Ia menjawab, ”Syukurlah kawan, kurasa ini akan menjadi sebuah awal masa yang baru di keluarga yang akan kau miliki nanti...”.
Nada-nada keputusasaan menemani kata-katanya masuk ke dalam hatiku. Seolah-olah itu adalah hari terakhir, entah untuk apa atau siapa....
***
Kami tiba di rumah, aku, ibu, dan pamanku. Ayah bertemu dengan ibu, namun suasana dingin menyebar, menusuk hatiku, menjawab kekhawatiranku.
Aku bergumam dalam hatiku, ”Sobat, lihatlah mereka tak juga ingin menunjukkan bahwa kelak kata-katamu itu adalah sebuah kenyataan. Atau mungkin hanya menunggu hingga pasir itu telah habis jatuh ke dalam tabung di bawahnya...”.
***
26 Desember...
Kini tiba hari itu. Ketika..., teriakkan-teriakkan lemah...tenggelam dalam ketidakberdayaan, di tangan baruna yang murka. Menyapu semua keindahan yang mereka sebut, hancur lebur. Itu pula hatiku, sebab ia yang menjadi dahaga dalam hausku, kini lenyap dari alam yang bernyawa. Kidung-kidung tangisan jutaan anak manusia, meratapi apa yang terjadi atau sesungguhnya apa dan siapa yang bersalah....
Beberapa bulan kemudian, aku datang ketika negeri kecil itu tengah berduka, membangun kembali kerajaan kehidupan di atas puing-puing harapan yang hilang dulu, mencari jejak-jejak makna keberadaan yang sesungguhnya....
Ia telah pergi untuk selamanya menjadi pangeran di negeri seberang,
kini aku hanya mampu menjejakkan langkah-langkah hatiku di atas puing-puing istananya.
Merasuki waktu, berputar balik ke tengah jalan setapak yang hilang,
menyusuri kegundahan tiap-tiap hari-harinya.
Setidaknya untuk tahu, meski tiada akan aku rasakan itu miliknya.
Ia malaikat yang menyelamtkanku dari kematian,
Ia melindungiku dari derita kerasnya hidup ini, yang kurasa.
Ia menyinariku dengan cahayanya,
hingga akan selalu aku kenang,
sebagai sebuah kisah tentangnya....
”Kau tinggalkan aku sendiri, Sahabatku. Kau yang mengajariku untuk tidak melakukan itu. Aku berjanji atas nama dirimu. Aku akan menghadapi semua ini seperti yang kau pinta dulu. Aku tidak akan lari. Cahaya matahari itu tidak akan membuat kelelawarku bersembunyi. Lihatlah sahabat...suatu saat nanti akan kutunjukan itu aku, bukan yang menangis tuk kekalahan. Itupun pula engkau tidak akan hilang dari cerita itu, meski engkau ingin namamu lenyap dari kemuliaanmu”.
”Selamat jalan sahabatku...”.
Semoga itu yang kau sebut gurat-gurat nasib kerasnya hidup milikku dan milikmu, mempertemukan kita di persimpangan jalan yang lain suatu saat nanti....
0 comments:
Posting Komentar