Senin, 06 Juni 2011
11 Hari Terakhir Menatap Raga Sang Peri
Hal yang paling kekal di dalam hidup ini adalah perubahan. Begitu kerap kali bunda mengingatkanku. Agar kelak, kita tidak terlalu menjunjung apa yang sedang terjadi terlalu tinggi, dan ketika semua itu berubah seketika, kita hancur berkeping-keping. Belajarlah untuk menerima dan bersyukur atas semua yang terjadi.
Itu memang hanyalah sebuah teori yang bagi sebagian orang sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan, sehingga sering kali mereka mengabaikannya. Tapi bagi insan seperti kami berdua, itu adalah mantra ajaib yang patut direnungkan dalam-dalam, lalu mewujudkannya menjadi nyata dalam kemurnian kehidupan.
30 April 2011
Sepulangku dari ibu kota, aku masih sibuk berkutat mempersiapkan keberangkatanku menapaki negeri Paman Sam, memperkaya pengetahuanku. Seperti biasa, setelah beranjak dari tidurku dengan doa, aku membasuh badanku dengan kesegarannya yang melebihi segalanya. Memohon kepada Dewa Wisnu, agar senantiasa diberi kesegaran, kesehatan, pemurnian pikiran, dan pembersihan. Air yang mengalir dari ujung kepala terasa seperti memeluk tubuhku erat, menyelimutinya dengan kesegaran alami yang tak tertangkap mata.
Keseharianku di pagi hari, setelah membersihkan badan, aku kembali memujaNya, suatu hal yang tak pernah bunda lupakan untuk selalu mengingatkanku. Mengolah nafasku, mengolah jiwaku, mengolah pikiranku, mengolah ragaku. Kami sebut itu dengan yoga, sebuah istilah yang memang sangat tidak asing dari peradaban nenek moyang zaman dahulu.
Setelahnya, barulah aku memulai aktivitas di rumah, membersihkan setiap ujung rumahku. Hari ini cukup padat, dan tak terasa terlelap dalam kasur berbalutkan kain yang merona. Aku sampai tak ingat isi bunga tidurku, saat aku membuka kelopak mataku, sayup-sayup aku dengar ibu memanggil namaku lirih. Siang itu ibu merasa kedinginan, badannya pegal, sangat pusing, dan mual. Aku langsung loncat seketika setelah mengucapkan mantra bangun tidurku, menghampiri ibuku yang sedang berbaring di kamar sebelah.
Kusentuh dahinya, cukup panas. Kuambilkan minyak tawon untuk mengurut sekujur badannya dengan lembut namun bertekanan, berharap rasa ngilu dan panasnya bisa berkurang. Air hangat yang diminum ibuku pun seketika habis lalu kubuatkan berulang kali. Saat itu, aku meminta ibuku untuk berbaring sejenak, aku menemaninya.
01 Mei 2011
Keadaan ibu rupanya tidak membaik pagi ini. Aku semakin tidak tega melihatnya. Pamanku yang sangat baik hati membawanya ke prodia, sebagai antisipasi manakala terkena demam berdarah. Aku menemaninya, merasa sangat iba melihat kondisi ibuku yang semenjak kemarin itu terlihat sangat lemas, padahal, bunda biasanya sangat sehat dan ceria. Tapi dalam kondisi ini, bunda tetap selalu tersenyum.
Hasil tes darah menunjukkan ibu memang sedang terjangkit demam berdarah. Dengan angka trombosit yang masih tergolong tinggi, 148, kami memutuskan merawat ibu di rumah. Karena kami tahu kalau demam berdarah, obatnya hanya dengan banyak makan, dan banyak minum.
Aku berbaring di bawah kakinya malam itu. Berharap bisa terjaga, dan selalu mengingatkan ibuku untuk minum yang banyak. Sesekali ibu membangunkanku, beliau susah tidur dengan kondisi kepalanya yang sangat sakit.
02 Mei 2011
Ibu tidak bisa menahan rasa sakitnya, dan untuk penanganan yang lebih intensif lagi, paman dan bibiku yang baik hati tiada tara membawanya ke rumah sakit. Aku bertemu banyak sahabat sekolah menengah atasku, yang sedang koas. Setelah lama mendapat penanganan di ruang UGD, ibu diputuskan untuk rawat inap. Ini adalah hal yang paling aku takutkan, rawat inap. Aku menguatkan diri, mengumpulkan tenaga dan semangat, agar kelak aku selalu ada disana untuk merawat ibu sampai ibu sembuh dan pulih. Malam ini aku terjaga ditemani kekasihku. Dia sudah seperti anak kedua bagi ibuku. Dengan kebaikan, kepolosan, kepeduliannya, aku dan ibu mengandalkannya untuk menemani kami di rumah sakit malam ini, karena pamanku, pak Yan dan bibiku, Buyik tidak bisa menemani kami malam itu.
03 Mei 2011
Kondisi trombosit ibu semakin menurun. Kata bibiku yang adalah seorang dokter umum yang profesional, proses demam berdarah memang seperti pelana kuda yang bebentuk huruf U. Nanti pada akhirnya akan terjadi peningkatan dengan sendirinya. Bugek, begitu aku memanggil bibiku ini. Beliau sangat peduli, beliau adalah dokter keluarga kami, jadi semuanya dikonsultasikan kepada beliau, dan beliau dengan sigap menyarankan dan bertindak untuk segera memperoleh penanganan yang lebih baik. Tapi beliau bukan dokter dirumah sakit pemerintah ini. Namun kebetulan saat itu, teman sekelasnya yang menjadi dokter rawat untuk ibuku sayang.
Kami sempat berpindah kamar untuk mendapat susasana yang lebih baik.
Saat semua sedang berada diluar, hanya aku seorang diri yang menjaga ibu di dalam, ibu berkata “Sepertinya ibu akan meninggal.”
Dengan senyum aku menyentuhnya, menatapnya, dan berkata, “Pasti sembuh, Bu. Jangan khawatir, yang kita perlukan hanya menunggu pelana kudanya berproses, sabar ya, Ibu sayang.”
Beliau menganggukan kepalanya dan kembali tersenyum.
Malam ini beberapa saudara dan kerabat menjenguk ibu. Lagi- lagi sayang sekali Buyik belum bisa menemani malam ini, kasihan juga beliau capek, dan harus ke kampus setiap pagi. Jadi malam ini ditemani Tuibu, kakak ibuku. Beliau juga adalah sosok penting dalam hidup kami, Tuibu sangat sayang ibuku. Tuibu memang sosok yang kuat dan keren. Prestasi terakhirnya, beliau diminta ikut bermain di film layar lebar Eat, Pray, Love bersama Julia Robert, berperan sebagai orang Bali, istri sang Palm Reader, Ketut Liyer. Aktingnya sukses membuat orang yang menyaksikannya menjadi geli dan sebal dengan karakter yang dibawakannya.
Sekalipun aku berbaring sesekali, namun aku masih tetap terjaga, ibuku kondisi kesdarannya agak melemah, kami kira itu bagian dari tekanan psikologisnya.
04 Mei 2011
Ibu lebih membaik dari kondisinya semalam. Belaiu mau kusuapi bubur, kami bernyanyi lagu bhajan (nyanyian nama-nama Tuhan) bersama-sama, ibu senantiasa tersenyum. Aku menjadi lebih tenang dengan kondisinya.
05,06,07,08,09 Mei 2011
Saudara, kerabat, sahabat, rekan, kawan, teman, semua datang menjenguk dan menghibur ibuku, memberikan semangat. Bahkan kerabat bibi dari negeri paman sam, datang untuk mengobati. Perut ibu yang sempat kembung kencang seperti mau meledak, seketika mengempis saat itu. Bapak pun datang meminjam tubuh paman dan sepupuku, berharap ibu sembuh. Itu pertama kalinya aku tahu akan hal itu.
Keceriaan, kegembiraan, pengharapan, hadir di setiap wajah kami. Janji, hiburan, kami suguhkan untuk ibu saat itu. Saat itu ibu terbaring sangat lemas., hanya bisa menggerakan jari-jemari. Aku sangat senang berada di sampin ibu selalu, menemaninya, merawatnya. Banyak yang rela melakukan apapun untuknya tanpa rasa terpaksa. Aku seperti telah memberatkan banyak orang. Tapi aku tahu dan sadar, kebaikan mereka adalah sebuah anugerah dalam kehidupan kami.
10 Mei 2011
Horay, akhirnya ibu terlihat lebih membaik. Trombositnya pun sudah meningkat drastis. Bibirnya yang pucat pasi terlihat merekah, bagaikan buah delima. Wajahnya kembali bersinar seperti ibuku biasanya. Ibu mengambil makan siangnya, kami ingin menyuapinya, tapi beliau dengan lahapnya menyantap suguhan sederhana yang ada di hadapannya. Saat itu kami semua sangat senang dan bernafas lega. Seperti biasa hal yang aku lakukan, bahkan saat di rumah sakit, aku mengajak ibuku bermain dan tertawa, menyanyi dan bergembira. Saat itu aku bersama bibi dan saudaraku, sahabat yang sudah seperti anak bagi ibuku. Berfoto-foto ria, tetap narsis seperti biasanya, selalu menghadap ke arah kamera.
Aku menyuapinya nggur merah sekita 4 biji. Beliau sangat senang..
Aku ingat saat itu, walaupun ibu belum sadar betul, beliau mempergakan,
'o..o..o..o..' milik guru spiritualku, Sri sri Ravi Shankar.
Senyum ibu yang manis, lucu, nakal dan khas, sambil berbinar-binar.
Siang itu ibu berkata agak pusing,
sepertinya beliau ingin tidur, lalu ku ijinkan saja beliau tidur, karena selama beberapa hari tidak bisa tidur, meskipun sudah mengkonsumsi obat tidur agar dapat istirahat.
Aku pun ikut tertidur menemaninya. Kakak ibu yang paling tua menemaninya di sampingnya.
Saat sore tiba,
saat akan memberi santapan malam,
ibu masih sadar, namun tidak mau membuka mata dan mulut.
Seolah-olah sangat enggan.
Minum pun kami paksakan.
Malamnya badannya sangat panas, sekitar 42 derajat celcius,
kami sempat panik, dan selalu cerewet sama suster juga dokternya.
Sempat terjadi perdebatan, untuk pindah ke ICCU, tapi kata dokter ada pasien yang lebih parah lagi,
aku yang sudah menandatangani surat perjanjian bersedia dirawat ICCU, dengan terpaksa harus menandatangani surat pembatalannya untuk hal tersebut.
Kami semua pasrah atas keputusan dokter wanita itu.
Bibiku yang juga seorang dokter di rumah sakit Internasional merasa sangat aneh dengan keputusan itu, tapi kami pikir, tak apalah, jadi kami semua bisa melihat ibu sepanjang hari menemaninya di kamar regular.
Malam itu, aku tidur disamping ibu, tepatnya duduk sambil tertidur. Sesekali terbangun dalam gelap, untuk memastikan ibuku dalam posisi tidur yang benar.
Seperti biasa, rumah sakit tidak pernah sepi penginap, paling sedikit 4 orang, paling banyak 6 orang yang menunggui ibu. Malam ini, ada 5 orang. Saat itu sekitar pukul 3 pagi, paman membangunkanku untuk bergantian menjaga ibuku.
Aku pindah dan tidur di luar. Merasa sangat mengantuk, aku langsung tertidur pulas, tanpa sempat menoleh ke arah ibu.
Keesokan harinya, sekitar pukul setengah enam pagi, bibiku membangunkanku untuk giliran menajag ibu. Aku terbangun, dan berjalan ke arah ibu. Mengelus dahinya, kupegang tangannya. Panas tubuh ibu terasa meningkat. Kupanggil suster dan dokter untuk mengukur suhu tubuhnya.
Aku melihatnya dari kejauhan, merasa sedikit iba, berjalan bolak-balik di dekat ibu. Sesekali mendekat, melihat dan mendengar irama nafas ibu yang semakin pelan.
Saat aku pastikan mendekat, aku cukup terkejut, melihat ibu seperti menarik nafas terakhirnya. Aku pegang bagian jantungnya, tak lagi berdenyut. Dokter dan suster masih memeriksa, aku hanya bisa melihat dari arah sekitar 50 cm. Menatapnya, saat itu sepertinya aku sudah tahu kalau ibu sudah memang tidak bernafas lagi. Namun, aku masih tenang dan tetap melantunkan doa dalam hati. Sesekali berjalan ke arah bibi dan paman.
Aku mengucapkan mantra gayatri di telinganya, saat dokter dan suster masih memastikan dneyut jantungnya.
Saat keluar hasil terakhir, dokter mengatakan ibu sudah tiada.
Baiklah, saat ituaku hanya mengeluarkan setetes air mata, sembari berjalan mendengar sedu-sedu tangisan bibiku, aku menuju ke arah canang dan dupa wangi buat guru yogaku, serta mengambil korek api. Semua itu sudah kupersiapkan sejak setengah jam yang lalu, seolah-olah aku tahu ibu akan berpulang.
Aku ber-Tri Sandhya di hadapan jenasah beliau, sambil sedikit terisak.
Aku teringat akan cerita ibu saat lalu, beliau dan keluarga mendoakan kepulangan ayahnya denga doa , canang, dan dupa, jadi aku juga ingin melakukannya, berusaha menahan tangis sejenak.
Pamanku berbisik kepada ibuku,
WE LOVE YOU, JAIGURUDEV...
Entah aku dari mana ku dapatkan kekuatan ini, yang sampai saat ini orang pun masih bertanya-tanya, bagiamana itu bisa terjadi padaku?
Namun, satu yang aku tahu, ini kudapatkan dariNya.
Ini semua juga aku pelajari dari ketegaran ibuku, saat beliau kehilangan ibu saat masih kecil, kehilangan ayah saat masih remaja, dan kehilangan belahan hatinya saat masih mengandungku dalam usia kandungan 9 bulan.
Ini semua aku inti sarikan dari pelajaran hidup yang selama ini aku dapatkan,
nasihat-nasihat ibuku, proses perjalanan spiritualku, semangat-semangat dari keluarga, sahabat, kekasih, dan kerabat. Bahkan seekor semut sekalipun, hewan peliharaan, tumbuhan dan yang lainnya.
:)
kemanapun aku pergi, selalu ada ibu, kemanapun ibu pergi, selalu ada aku.. foto ini, saat kita lagi ada mangrove care, ini ibu dengan teman kami, namanya ibu karni.. :)
sahabat-sahabatku adalah sahabat-sahabat ibu:)
ibu sama keponakanku, namanya dinar. dinar ini suka bermain sama ibuku, setiap saat. ibu selalu jagain dinar :')
ibuku kocak habis...:D
sayang mereka :) keluarga ibuku :)
sayang semua keluarga dari ibu dan bapak :)
Ibu dan ayah kini bisa kuajak kemana pun aku pergi, selalu merasakan keberadaan mereka.
Terrimakasih Tuhan :)
terimakasih Ibu Bapak :)
Terimakasih semua yang sudah sangat berbaik hati :)
Terimakasih semesta :)
2 comments:
huhuhuhuhuhuhu
pas lagey dengerin lagu Bunda di warnet mau buka email dr SF, tiba2 liat post kk di Blog senang...
kangen Ibunya sawi juga ibunya kk....,,:")
Yang tabah ya rin...
Aku
Turut Berduka Cita
Posting Komentar